Jika harus membanggakan diri dan menyalahkan diri mungkin aku adalah pemenangnya, bagaimana tidak, menunggu kamu yang tak menyadari adanya aku yang mencari bahagia karenamu sekaligus menjadi bodoh karena tetap melakukan ketidakpastian yang aku yakini hanya soal waktu.
Anggap saja ini surat dari anonim, aku yang sedang menunggu.
Bertahan menunggu seseorang sadar dan luluh untuk bersama atau berakhir sabar karena membuat kesal. Berapa kali aku mencari perhatian untuk sekedar ditatap matamu lebih lama saja, aku hanya berakhir sebagai angin lewat tak terasa. Hembusan nafas dan waktu yang aku buang hanya untuk menebak-nebak apakah sedikit saja ada aku terlintas dibenakmu. Senyumku terlalu mudah tercipta, hanya dengan melihatmu dari balik kaca. Murungku terlalu egois, jika sehari saja tidak tahu tentangmu. Akhirnya waktu menjawab dan menyadarkanku, jika kamu menghiraukanku dengan sadar.
Butuh jawaban, setidaknya basa-basi walau tak ada artinya untukmu. Alasan sebelum orang meninggalkan adalah memastikan jika bahagia yang ada sudah cukup dan tak ada yang terlewati. Terkaan demi terkaan menggantung di pikiran tak terkendali, melihat inginnya hati dan kenyataannya. Waktu saja ragu memastikan jawabannya, kecuali kamu. Dan jika kamu memang menjawabnya, aku tak ingin mendengarnya berkali-kali karena hanya maaf yang keluar.
Tentang mengerti, seharusnya tak egois mengerti diri sendiri atau tak yakin dengan diri sendiri, hidup memang pilihan yang kadang membuat serba salah entah kapan serba benarnya. Dan keadaan seperti ini berakhir pada saling menyalahkan untuk tahu siapa yang dinobatkan sebagai yang menyakiti atau disakiti, walau aku pastinya mengalah. Mengerti punya pilihan atau alasan dan tak pernah sendiri bergemuruh di dalam diri, sulit tetapi aku coba tersenyum menikmatinya.
Kamu yang tak pasti untukku, memastikan berjalan bahkan sampai berlari menujunya. Aku berdiri sendiri, menunggu kamu datang dan ada di hadapanku yang entah sampai seterang apa kilau cahaya datang. Ujung-ujungnya kilau itu pudar secepat aku jatuh hati, kamu sudah dipastikan orang lain. Kembali sabar dengan sadar menunggu lagi diiringi dengan pernyataan, jangan kau pilih dia pilihlah aku yang mampu mencinta mu lebih dari dia, yang terdengar seperti lirik lagu. Lalu terlintas di pikiranku seakan menjawab, "Karena kamu cuma menunggu." dan aku seketika mematung seakan tak bernafas.
Semua yang pergi termasuk kamu tak mudah untuk kembali ada di hadapan atau di pelukan. Apalagi alasannya adalah karena kesalahan sendiri, yang tak terkontrol diri. Rasanya semesta, hanya menyalahkanmu dan tak ada hal lain yang membuatmu salah. Berpikir gila dan berharap Doraemon datang membawa alat pemutar waktu, yang bukan nyata.
Menunggu cinta, apalagi yang sejati ada saja yang tak sabaran dengan alasan semua harus di kejar, namun kadang tak tahu diri dan berakhir sakit. Sesuatu yang indah tidak begitu saja datang dengan mudah dan bisa saja datang dengan cara yang hanya dianggap tidak indah. Sejati dan abadi harus memerlukan patah hati, seperti kombinasi. Orang tepat akan hadir disaat yang tepat, jika bukan sekarang terus kapan? Diam dan sejanak intropeksi diri, mungkin ada yang salah dari cara memaknai kalimat "Menjadi lebih baik" dan coba belajar dari semua ini, memperbaiki diri dengan cari lebih baik yang berbeda. Sampai akhirnya yang dikirimkan adalah dia yang juga seperti kamu, dia dan kamu yang merasa tepat di tempat yang seharusnya.
Komentar
Posting Komentar